Sabtu, 16 Desember 2017

Laporan Observasi Festival Congot Kabupaten Purbalingga Tahun 2017


Hasil gambar untuk logo unnes png


Laporan Observasi Festival Congot
Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga

Disusun untuk memenuhi tugas kuliah Telaah Pranata Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu : Dra. Sri Prastiti Kusuma Anggraeni, M.Pd.



Oleh :
                                   
                                    Nama                           : Ery Iriyanto
                                    NIM                            : 2601416078
                                    Rombel                        : 04


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017


PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sebagai salah satu bangsa yang multikulutural. Indonesia memiliki banyak sekali budaya dari sabang sampai merauke. Budaya merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan. sehingga setiap daerah memiliki budaya dan ciri khas masing-masing atau biasa disebut dengan kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal ini sangat perlu dilestarikan agar generasi mendatang dapat mengetahui dan memaknai kearifan lokal yang luhur dari nenek moyang sehingga budaya atau kearifan lokal ini tidak terkikis oleh perkembangan zaman dalam hal ini yaitu globalisasi yang semakin menyeret budaya asli Indonesia. Seperti yang kita ketahui generasi muda saat ini banyak yang tidak mengenal budaya asli Indonesia bahkan budaya yang ada di daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh kebanyakan masyarakat luar, padahal budaya ini merupakan kekayaan negeri yang sangat berharga karena terbentuk dari nilai luhur yang ada sejak dahulu. Oleh karena itu pemerintah daerah mengemas budaya yang sudah ada sejak jaman dahulu melalui bentuk festival salah satunya yang akan kita bahas daam laporan ini adalah Festival Congot. Festifal Congot ini Desa Kedungbenda, Kecamantan Kemangkon, Purbalingga - Jawa Tengah.
B.     Tujuan :
1.      Untuk menelaah budaya masyarakat Jawa khususnya di Desa Kedungbenda Kabupaten Purbalingga
2.      Untuk mengetahui dan memperoleh informasi tentang Festival Congot yang berada di Desa Kedungbenda
3.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Telaah Pranata Masyarakat Jawa
C.    Manfaat :
1.      Memahami kebudayaan warga masyarakat kabupaten Purbalingga
2.      Mengetahui prosesi sedekah bumi di Desa Kedung Benda, Kabupaten Purbalingga
3.      Mendapatkan informasi tentang desa wisata Kedung Benda
4.      Mendapat informasi tentang Festival Congot
PEMBAHASAN

A.    Waktu Dan Tempat Observasi
1. Lokasi Observasi
Dalam observasi ini bertemat di Desa Kedung Benda, Kecamatan Kemangkon Purbalingga, Jawa Tengah..
2. Pelaksanaan Observasi
Jumat, 13 Oktober 2017
Pukul 20.00 WIB :
1)      777 Cahaya Senthir
2)      Macanan
3)      Istighosah
Sabtu, 14 Oktober 2017
1)      Pukul 08.00 WIB
Ruwat Bumi
2)      Pukul 09.00 WIB
Parade Perahu
Sedekah Klawing
3)      Pukul 10.00 WIB
Sarapan Kupat Landan
Pesta Canthor

B.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang saya gunakan dalam mengumpulkan data dalam Festival Congot ini ada 2 teknik yaitu :

1.      Teknik Wawancara
Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang menanyai langsung seorang narasumber yang dibutuhkan oleh peneliti secara lisan. Dengan metode ini saya bisa memperoleh kesimpulan dari beberapa pendapat dari narasumber serta mendapat keterangan secara langsung mengenai Festival Congot ini.

2.      Teknik Observasi
Orservasi yaitu teknik pengumplan data dengan cara terjun langsung ditengah-tengah masyarakat. Dalam teknik observasi ini saya memperoleh data berupa rekaman gambar maupun video serta catatan kecil dari sebuah pengamatan.

C.    Narasumber
1.      Nama                 : Ramisa, S.Pd
TTL                    : Kulonprogo, 3 Januari 1958
Pendidikan        : SD Jonggrangan, DIY
                          SMP Negeri 1 Nanggulan Sentolo
                          SPG Negeri 1 Yogyakarta
                          UT Pokjar Purbalingga, UPBJJ Purwokerto
Jabatan            : Kepala Sekolah SD Kandang Gampang 1, Kecamatan Kota,            Kabupaten Purbalingga
Moto Hidup    : Hidup itu selalu diisi dengan kegiatan, tentunya kegiatan   yang positif.


2.      Nama                 : Agus Sukoco
TTL                    : Purbalingga, 3 September 1976
Pendidikan         : SD Karang Reja 1, Purbalingga
                  SMP Negeri 3 Purbalingga
                  SMA Negeri 1 Bobot Sari, Purbalingga
      Jabatan              : Budayawan Purbalingga
      Motto                : Eling lan waspada
3.      Nama                  : Yudia
Jabatan               : Ketua panitia Festival Congot 2017

D.    Hasil Observasi


1.      777 Cahaya Senthir

Agus Sukoco : “Ada ritual-ritual adat, ada banyak tradisi di desa ini. Jumlah 777 sentir ini merupakan salah satu yang masih terjaga. Kebetulan kita mencari-cari ketemunya 777 botol, tetapi bila jumlah 1000 atau lebih bisa saja. Tetapi kita mencoba menggali sebuah makna dari 777 senthir ini bahwa mengandung makna pitutur, pituduh, pitulungan.”
Ramisa : “ Senthir merupakan hasil peninggalan sebuah peradaban masa lalu tepatnya nenek moyang kita. Zaman dahulu kan belum ada penerangan, nenek moyang kita sangat cerdas membuat penerangan dari senthir ini. Dan ada sebuah penelitian bahwa santri yang mengaji menggunakan penerangan dari senthir hasilnya akan lebih baik dibanding yang menggunakan penerangan megah seperti saat ini karena api dari senthir yang stabil.”
777 Cahaya Senthir ini merupakan salah saturangkaian acara dalam Festival  Congot. Acara ini merupakan acara pembuka Festival Congot, 777 Cahaya Senthir ini dilaksanakan untuk mengiringi acara Macanan dan Istighosah, yang diikuti oleh seluruh warga sekitar. Istigosah serta macanan yang dilakukan dengan tujuan supaya acara festival congot ini bisa terlaksana dengan sesuai dengan rencana tanpa ada suatu halangan apapun. Acara ini dilaksanakan pada malam hari setelah isya sebelum acara ruwat bumi. Senthir ini terbuat dari botol kecil yang diberi sumbu serta diberi minyak tanah supaya bisa menyala terus-menerus. Senthir ini dibuat oleh panitia lalu dibagikan kepada orang yang datang untuk mengikuti acara istigosah dan macanan. Istigosah ini ada karena orang-orang Desa Kedung benda ini mayoritas beragama islam tetapi ada juga sebagian yang katholik. Di Desa ini kehidupan umat beragamanya saling toleransi walaupun ada umat beragama yang minoritas.
Makna
Jumlah 777 senthir ini mengandung makna “Pitutur, Pituduh, Pitulungan”. Pitutur yang berarti dalam kehidupan ini harus saling memberi nasihat. Pituduh yang berarti semoga dalam kehidupan selalu diberi petunjuk yang baik. Sedangkan Pitulungan memiliki makna dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan selalu diberi pertolongan oleh Sang Mahakuasa.
Fungsi Sosial
Penggunaan cahaya senthir ini memiliki makna untuk mengenang masa silam dan menyamaratakan derajat dalam masyarakat. Jadi, orang kaya maupun orang miskin pada zaman dahulu sama-sama menggunakan senthir.
Fungsi Pendidikan
Cahaya senthir juga memiliki cahaya yang stabil. Diharapkan dalam menjalani sebuah kehidupan tetap lurus serta senantiasa sederhana. Ada sebuah penelitian, bahwa santri yang membaca Al-Qur’an menggunakan penerangan senthir hasil kepribadinya lebih baik daripada yang menggunakan penerangan megah seperti sekarang ini.

2.      Macanan
Berasal dari kata maca mendapat imbuhan an. Merupakan sebuah kegiatan menembangkan serat-serat jawa dalam rangkaian Festival Congot yang dilakukan oleh beberapa orang. Tetapi macanan ini biasanya dilakukan seminggu sekali tepatnya dihari jum,at dirumah secara bergantian setiap minggunya.
1.    Maskumambang          : arwah yang masih mengambang dimana dunia kita belum ada       kehidupan sama sekali.
  1. Mijil                            : saat semua makhluk hidup dilahirkan di dunia dan makhluk yang dilahirkan tidak bisa memilih tempat dimana kita akan dilahirkan didunia ini.
  2. Sinom                         : masa pertumbuhan dimana makhluk khususnya manusia yang dilahirkan didunia sudah mencapai masa muda atau remaja.
4.      Kinanthi                      : masa remaja yang sudah mulai mencari jati diri dalam dirinya sendiri-sendiri.
  1. Asmarandana              : masa remaja yang sudah menjalanai mas puber.
  2. Gambuh                      : setelah masa puber tiba, kita dituntut untuk menjatuhkan pilihan yang digunakan untuk berumah tangga.
  3. Dhandanggula             : seseorang mencapai puncak kesuksesan. Dhandanggula ini menerangkan bahwa sesudah mencapai puncak kejayaan jangan lupa bahwa kekayaan hanyalah titipan sementara dari Allah swt.
  4. Durma                         : puncak kesusesan adalah hal yang paling disukai orang ketika hidup didunia, hal tersebut menuntun kita untuk tidak lupa bersedekah , memberi pada yang membutuhkan.
  5. Pangkur                       : masa dimana orang sudah mengurangi semua aktivitas didunia yang artinya umur sudah tua.
  6. Megatruh                     : mejelaskan tentang hal kemtian, bahwa orang yang hidup didunia akan berpisah dengan ruhnya.
  7. Pucung                        : sekaya apapun didunia, harta tidak dibawa yang dibawa hanyalah kain murah dan tidak dijahit.

Menurut bapak Agus sukoco pada macanan itu isinya babad. Macanan di laksanakan mulai pukul 21.00 sampai 00.00. Pada macanan tadi yang dibaca hanya beberapa syair saja.
Menurut bapak Ramisa kebanyakan buku-buku macapat itu buatan karya Paku Buwana 4, seperti halnya serat wulangreh jadi tidak ada yang mengarang sendiri.

Makna
Manusia dalam menjalani kehidupan senantiasa ingat kepada Sang Maha Kuasa bahwa manusia dilahirkan untuk mati. Maka dari itu selalu berbuat kebaikan disetiap sisi jengkal kehidupan.
Fungsi Budaya
Untuk mewariskan serta melestarikan Budaya Jawa khusunya Tembang Macapat kepada generasi muda sebagai identitas budaya bangsa.
Fungsi Sosial
Saling merekatkan tali silaturrahmi masyarakat Desa Kedungbenda khususnya kelompok macanan itu sendiri sebagai bekal menyongsong arus globalisasi.


3.       Ruwat Bumi
Menurut Pak Yudia selaku Ketua Panitia festifal Congot. Ruwat bumi tersebut merupakan ritual yang diadakan setiap tahunnya sebagai ungkapan rasa syukur wrga kepada Tuhan dan alam yang sudah menyediakan lahan untuk bekerja sebagai petani.
Menurut Kepala Desa Kedungbenda sejarah ruwat bumi sendiri secara umum di Tanah Jawa merupakan ritual yang turun-temurun telah ada dari leluhur entah siapa yang mengawali tidak tahu. Ruwat bumi di Desa Kedungbenda ini sekarang menjadi surat keputusan gubernur untuk melestarikan tradisi. Tidak setiap tahun diadakan, dilihat dari anggaran yang ada. Tahun ini anggaran yang didapat dari warga setempat, namun ada juga bantuan dari Bupati Purbalingga. Dan terdapat sesaji yang dilarung di Sungai Klawing terdiri dari Sembilan saji dan dua gunung yang ditempatkan berbeda, yaitu satu gunung di arak sedang gunung lain ditaruh di jalan raya.
Menurut Bpk Agus sukoco seorang budayawan Kabupaten Purbalingga sendiri ruwat bumi ini ada karena para leluhur terdahulu telah memposisikan alam sebagai sosok yang hidup. Orang Jawa menyebutnya Dewi Sri dan bumi disebut Siti/Pertiwi. Dari pemaknaan tersebut maka membahasakan budaya menjadi ritual. Ritual sendiri merupakan cara orang Jawa bersosialisasi dengan alam.
Dan yang terjadi saat ini menurut Negara Barat ritual ini merupakan hal yang kuno atau jauh dari peradaban. Sedangkan menurut Islam menganggapnya sebagai syirik.
Menurut warga setempat Ibu Suparti Desa Kedungbenda ruwat bumi ini dilaksanakan setiap Bulan Suro dengan perhitungan tanggal Jawa yang setiap tahunnya berbeda. Sehingga dalam kalender masehi berbeda tanggal setiap tahunnya.
Secara garis besar, ruwat bumi merupakan rasa syukur masyarakat Desa Kedungbenda terhadap  Sang Pencipta karena telah diberikan hasil yang melimpah dari alam sekitar dengan cara melakukan merawat bumi sekitar serta ritual-ritual.

Makna
Ucapan rasa syukur terhadap Sang Maha Pencipta karena telah diberi hasil alam yang melimpah.
Fungsi Sosial
Menyatukan warga Desa Kedungbenda dalam satu rasa kebahagiaan serta menumbuhkan sifat yang saling bergotong-royong diantara masyarakatnya.


Fungsi Religius
Menyatukan semua golongan kepercayaan dalam suatu ucapan rasa syukur tehadap Sang Maha Pencipta. Serta menumbuhkan sifat yang senantiasa menghargai sebuah perbedaan demi kepentingan bersama.

4.      Sedekah Klawing

Sedekah klawing merupakan bentuk rasa syukur atas hasil alam yang diberikan sudah berjalan sejak masyarakat bermukim di daerah tersebut. Bentuk sedekah klawing muncul karena kehidupan manusia yang saling berdampingan dengan alam. Dahulu, sebelum Islam masuk ke Nusantara, orang-orang pribumi sudah memiliki kepercayaan bahwasannya kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, begitu juga sebaliknya. Orang-orang dahulu sebelum peradaban barat masuk, mereka bahkan sudah memiliki pemikiran tentang hakikat kehidupan. Mereka sudah mengartikan bahwasanya bumi merupakan sesuatu yang hidup. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa terima kasih atas apa yang diberikan oleh alam kepada masyarakat sekitar sungai klawing khususnya, munculah suatu ritual yang dinamakan sedekah klawing.

            Sedekah klawing setelah masuknya peradaban islam di nusantara, mulai terbentuk kesinambungan antara tradisi dengan ajaran agama yang ada. Tradisi yang ada sesungguhnya merupakan bentuk masyarakat jawa dalam merealisasikan bahasa untuk berkomunikasi dengan alam. Berdasarkan informasi yang kami dapat dari bapak Agus Sukoco (14/10), bahwa dahulu kala kehidupan masyarakat setempat sangat selaras dengan alam dan saling berkesinambungan/ngawiji. Datang dan menyebarnya islam ke daerah tersebut membawa dampak yang sangat signifikan sehingga terjadi keselarasan kehidupan antara manusia dengan alam, sehingga pranata masyarakat sangat tertata anatara tradisi dan kebudayan setempat.

Menurut Pak Yudia selaku Ketua Panitia Pelaksana Festival Congot yang mengatakan bersangkutan dengan prosesi sedekah klawing yaitu prosesi sedekah klawing yang sudah ada dan sudah berjalan ketika menyambut bulan Sura ada yang dinamakan larungan masyarakat biasa menyebutnya dengan sesaji yang dibuat seperti rumah-rumahan dari batang pisang untuk dihanyutkan didalamnya berisi seluruh jajanan pasar yang ada di Kedungbenda, seluruh hasil bumi yang ada di Kedungbenda, seluruh bentuk harta yang ada di Kedungbenda seperti potongan keramik, bata, emas (jika ada yang mempunyai), uang, baju, dan semacamnya lalu dimasukkan ke dalam rumah-rumahan tadi dan diberi bacaan doa khusus.
Sedangkan untuk yang dilaksanakan pada festival yaitu larungan ada di kampong nelayan di congot kalau untuk di Kedungbenda akan dilaksanakan di sungai tepatnya di belakang balai desa,
  1. Kirab bersama-sama warga Kedungbenda menuju sungai di belakang balai desa dan diterima oleh Bapak Bupati juga diiringi musik (tetabuhan) dengan memakai baju adat.
  2. Kemudian oleh Bapak Bupati dibawa ke tepian sungai lalu diserahkan ke juru kunci sungai
  3. Setelah diterima juru kunci sungai lalu dinaikkan ke perahu
  4. Selanjutnya diiring-iringi Bapak Bupati dengan parade perahu, perahunya menggunakan perahu-perahu penambang pasir maupun perahu nelayan. Jarak iring-iringan yaitu dari sungai belakang balai desa sampai dibawah jembatan Linggamas adalah sekitar 3 km dengan waktu tempuh ± 30 menit. Sedangkan, larungan tetap berjalan sampai ke pertemuan sungai clawing dan sungai srayu yang bermuara di pantai selatan.
  5. Bapak Bupati bersama rombongan dan para warga yang mengikuti iring-iringan berhenti di bawah jembatan Linggamas .
  6. Dilanjutkan acara sarapan kupat landan disekitar bawah jembatan Linggamas.


Makna
Klawing merupakan sungai penghidupan bagi warga Desa Kedungbenda. Maka dari itu perlu dirawat dan dijaga dengan cara Sedekah Klawing ini. Serta sebagai bentuk ucapan rasa syukur terhadap Sang Pencipta karena telah memberika hasil dari Sungai Klawing yang sangat melimpah. Untuk itu perlu menjaga Sungai Klawing ini sebagai sumber penghidupan warga sekitar.


Fungsi Sosial
Sungai Klawing merupakan sumber penghidupan bagi warga sekitar melalui ikan-ikan yang berada di sungai tersebut. Karena sebagian warga Desa Kedungbenda bermata pencaharian sebagai nelayan.

Fungsi Budaya
Nelayan di Desa Kedungbenda ini unik karen nelayan sungai yang merupakan satu-satunya nelayan di Kabupaten Purbalingga. Serta menegaskan bahwa Negara Indonesia ini negara yang kaya ikan bukan hanya dilaut tetapi juga disungai dan nelayan merupakan budaya nenek moyang kita.


5.      Sarapan Kupat Landan

Sarapan Ketupat Landan salah satu rangkaian tradisi Festival Congot yang memiliki makna yang bersangkutan dengan kehidupan masyarakat Kedung Benda. Bapak Agus Sukoco memaparkan bahwa maksud mengapa kupat landan menjadi salah satu tradisi Festival Congot tersebut karena ketupat landan merupakan makanan khas masyarakat Kedung Benda. mengapa disebut ketupat landan pada dasarnya ketupat landan adalah ketupat biasa yang dikenal oleh masyarakat hanya tetapi proses masaknya menggunakan daun kelapa yang dibakar lalu ikut digodhog diketupat sehingga membuat warna ketupat tersebut berubah menjadi kemerah – merahan. Dan biasanya masyarakat menyantap ketupat landan bersama dengan ikan yang ada disungai klawing. jadi makna dari ketupat landan yang diikut sertakan sebagai Festival Congot tersebut adalah wujud syukur masyarakat Kedung Benda atas melimpahnya ikan yang ada disungai klawing dan kenikmatan ketupat landan yang menjadi makanan khas Kedungbenda. Untuk pesta Canthor  tersebut hanya tambahan saja ditahun ini karena conthor tersebut merupakan kerupuk khas yang diproduksi desa sebelah, karena produksi yang ada sudah melambung besar sehingga pemilik ikut berpartisipasi menyumbangkan kerupuk canthor tersebut sebagai rasa syukur dan rasa berbagi sesamanya.

Makna
Kupat mengandung arti ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Sungkeman merupakan salah satu implementasi dari mengakui kesalahan terhadap orang tua maupun sesama. Jadi, manusia dalam menjalani kehidupan harus berani mengakui kesalahan dengan cara memohon maaf ataupun sungkeman.
Fungsi Budaya
Kupat sampai sekarang masih ada dan menjadi budaya dalam setiap acara masyarakat jawa bahkan Indonesia sebagai warisan budaya luhur.
Fungsi Religius
Kupat mengandung arti 4 laku atau 4 hal yang harus dilakukan dan dipunyai sebagai manusia, yaitu ilmu, amal, dakwah, dan sabar.



PENUTUP

A.    Simpulan
Dari adanya Festival Congot yang berada di Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga ini merupakan rangkaian budaya yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadikan acara ini sebuah ajang promosi wisata budaya sekaligus melestarikan kearifan lokal yang ada ditempat tersebut.
             Kenapa dinamanakan Festival Congot ?  Karena didesa tersebut terdapat pertemuan antara sungai Klawing dan Sungai Serayu. Festival itu sendiri merupakan suatu bentuk apresiasi dari Bupati Purbalingga atas pencapaian desa tersebut sebagai desa pelestari budaya. Prosesi berpusat di pelataran balai desa Kedungbenda yang terletak di depan balai desa tersebut.
            Desa kedungbenda merupakan desa yang dikelilingi sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat warga desa tersebut. Di sungai tersebut terdapat jembatan yang “Linggamas” yaitu merupakan kependekan dari Purbalingga dan Banyumas. Jembatan tersebut merupakan  penghubung antara Purbalingga dan Banyumas. Festival tersebut berisi tentang ritual ruwat bumi yang dikemas dalam bentuk festival, terdiri dari beberapa rangkaian acara yang meliputi: Istighosah, Macanan, 777 Cahaya Senthir, Ruwat Bumi, Sedekah Klawing, Sarapan Kupat Landan, Pentas Ebeg, Wayangan, dan Pit- pitan maring Congot.


B.     Saran
Semoga Festival Congot kedepanya dikemas lebih menarik lagi supaya bisa dikenal masyarakat umum karena leawat promosi yang baik akan mempertahankan budaya kearifan lokal yang ada serta dengan tidak meninggalkan tradisi asli Congot tersebut.

Semoga bermanfaat dan barokah ya😀😀. Terima kasih telah berkunjung. Jangan bosan-bosan ya😃😄

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Laporan Observasi Mata Kuliah Manajemen Sekolah: Sarana dan Prasarana Tahun 2017

Laporan Observasi Manajemen Sarana dan Prasarana di SMA Negeri 1 Batangan Disusun untuk memenuhi tugas kuliah Manajemen Sekol...